i Green Discussion
Acara ini merupakan salah satu program kerja Departemen Kajian Strategis Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM. Acara yang membangun konsep kegiatan diskusi santai ini mengangkat berbagai isu kehutanan dan lingkungan nasional dengan menghadirkan pembicara-pembicara yang kompeten. Pada iGreen Discussion #1 ini bertemakan Memahami Konflik Tenurial Dalam Implementasi REDD+ dengan pembicara Dr. Ahmad Maryudi, S.Hut, M.For, dosen Bagian Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan UGM dan anggota pada IUFRO Task Force International Forest Governance. Acara iGreen Discussion #1 ini dilaksanakan di Aula Fakultas Kehutanan, 8 Maret 2012 jam 15.45 WIB.
Isi dari rangkaian iGreen Discussion ini telah dipublish dalam Katrat's Note#2 di situs resmi LEM FKT UGM.
Kastrat's Note #2
Kamis, 8 Maret 2012 lalu Departemen Kajian dan Strategis LEM FKT UGM mengadakan diskusi dengan topik “Memahami Konflik Tenurial dalam Implementasi REED+”. Dengan pemateri Dr. Ahmad Maryudi, S.Hut M.For. Diskusi berlangsung dengan lancar. Banyak kawan-kawan yang bergabung dalam diskusi ini, mulai dari mahasiswa S1 minat Manajemen Hutan, Teknologi Hasil Hutan, Silvikultur, dan Konservasi Sumber Daya Hutan bahkan ada juga mahasiswa pascasarjana. Mereka memiliki minat yang tinggi untuk mengatahui masalah tentang REDD atau Reducing Emission from Forest Degradation and Forestation. Lalu sebenarnya apakah REDD itu? Inilah sekilas tentang REDD.
Sebagai Negara yang memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia, sektor kehutanan tidak hanya berkontribusi dalam pembangunan nasional melainkan juga berperan signifikan dalam menjaga keseimbangan ekosistem termasuk stabilisasi emisi global.
Hasil hutan kayu merupakan salah satu produk andalan hutan yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Demikian pula halnya dengan konversi kawasan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan. Namun di sisi lain, penebangan pohon dan alih fungsi lahan hutan tersebut menghasilkan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya pemanasan global.
Selain hal diatas, ada tiga hal yang menjadi penyumbang emisi terbesar. Pertama adalah dari sektor industri. Tentu kita semua tahu bahwa karbon yang berasal dari industri sangat besar. Industri beroperasi 24 jam sehari dan bukan hanya negara maju saja yang memilikinya, walaupun yang lebih banyak menyumbang emisi karbon adalah industry dari negara-negara maju.
Penyumbang emisi terbesar kedua adalah dari sektor transportasi. Di Negara-negara berkembang seperti Indonesia, Thailand, dan India transportasi menjadi masalah yang sulit untuk dipecahkan. Kepadatan kendaraan di jalan mengakibatkan macet dan tentu saja menjadi sumber polusi yang besar. Sarana transportasi umum yang kurang mendukung mengakibatkan masyarakat lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi sehingga emisi karbon dari sector ini pun sulit untuk dikurangi. Dan yang ketiga adalah dari sector domestik. Sektor domestik ( kulkas, mesin cuci, microwave, AC, dll) ternyata juga menyumbang emisi carbon yang cukup besar ke atmosfer. Hampir setiap rumah pasti memiliki alat-alat tersebut untuk daily use. Mungkin dari sector ini pula lah yang jarang disadari oleh masyarakat bahwa sebenarnya mereka menyumbang banyak carbon karena telah menggunakan alat-alat tersebut.
Apabila karbon sudah terlepas di atmosfer, itu akan bertahan ratusan tahun. Pada abad 19 terjadi emisi besar-besaran di daerah Eropa, yaitu saat revolusi industri. Karbon yang dihasilkan terakumulasi sampai saat ini. Dan tentu saja karbon itu tidak akan mudah hilang dari atmosfer.
Melihat emisi karbon yang terus meningkat, maka pada tahun 1997 dibentuklah persetujuan internasional mengenai pemanasan global atau yang lebih dikenal dengan Kyoto Protocol. Negara-negara yang meratifikasi Kyoto Protocol tersebut berkomitmen untuk mengurangi emisi carbon. Salah satu isi dari kesepakatan Kyoto Protocol yaitu negara maju wajib mengurangi emisi carbon sebesar 5%, sedangkan negara berkembang tidak memiliki kewajiban untuk mengurangi emisi carbon. Namun ternyata negara industri maju seperti Amerika, Kanada dan Australia justru menolak untuk meratifikasi Kyoto protocol.
Dari sinilah kemudian muncul REDD pada pertemuan di Bali tahun 2007. REDD adalah semacam insentif bagi Negara yang memiliki hutan tropis untuk mengurangi emisi karbon. Indonesia lewat. Pada pertemuan di Kopenhagen tahun 2009 lalu, Presiden SBY menyatakan bahwa Indonesia mampu mengurangi emisi carbon sebanyak 26%, bahkan dengan beraninya beliau menyatakan bahwa Indonesia mampu mengurangi emisi hingga 41% apabila mendapat bantuan dana dari negara maju! Dana itu diperlukan untuk merawat hutan milik Indonesia. Saat itu Norwegia, bersedia memberi bantuan sebesar 1 miliar dolar kepada Indonesia dengan syarat Indonesia benar-benar bisa mengurangi emisi carbon. Norwegia tentu saja melakukan itu dengan senang hati. Mengapa? Karena apabila mereka masih memiliki kewajiban untuk mengurangi emisi hingga 5%, mereka akan rugi sebesar 22 miliar dolar. Dan karena mereka telah membayar 1 miliar dolar kepada Indonesia, mereka tidak lagi berkewajiban untuk mengurangi emisi. Itu berarti mereka pun akan terlepas dari kerugian.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia mungkin akan mendapat insentif dari kesediaannya untuk membantu negara maju untuk mengurangi emisi carbon, namun apakah pemerintah, terutama bapak Presiden yang dengan beraninya menawarkan diri untuk mengurangi emisi, mengetahui dan memikirkan dampak selanjutnya dari kesepakatan tersebut?
REDD mungkin membawa dampak positif bagi keadaan hutan di Indonesia. Hutan lebih terjaga dan lebih lestari. Namun dibalik dampak positif dari REDD, dampak negatifnya selalu mengintai. Uang yang dijanjikan belum juga diterima Indonesia, uang tersebut masih abstrak dan entah ada atau tidak. Namun konflik-konflik dalam negeri yang berkaitan dengan kebijakan tentang REDD mulai bermunculan. Salah satunya adalah konflik tenurial. Kegiatan masyarakat di sekitar hutan banyak yang dipandang sebagai penyumbang emisi yang besar misal ladang berpindah. Karena telah berjanji untuk mengurangi emisi, maka Pemerintah melarang masyarakat untuk melakukan kegiatan dalam hutan,(ex:ladang berpindah) demi uang yang belum tentu ada. Lalu bagaimana nasib masyarakat sekitar? Darimana mereka mendapat penghasilan? Apakah mereka akan mendapat bagian dari insentif REDD apabila uang tersebut benar-benar diterima Indonesia? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang hingga saat ini belum jelas jawabannya.
Lalu, bagaimana jika emisi benar-benar berkurang dan uang sudah diberikan Norwegia pada Indonesia? Apabila hal tersebut terjadi, maka pemerintah pasti akan mengklaim bahwa berkurangnya emisi tersebut berasal dari lahan hutan negara. Padahal bukankah belum tentu bahwa yang berhasil mengurangi emisi adalah hutan negara? Bagaimana kita bisa melihat hutan mana yang telah mengurangi emisi dan menentukan kepada siapa uang tersebut diberikan? Hal ini juga memiliki potensi akan memicu konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pembagian uangnya.
Melihat paparan keadaan diatas, maka timbul pertanyaan dari Rizky, salah satu peserta diskusi, yaitu dimana kita sebagai Forester memposisikan diri menghadapi REDD, apakah menerima atau menolaknya? Rizky berpendapat bahwa keduanya memiliki nilai positif. Kemudian Pak Maryudi menjawab, bahwa sebagai seorang forester, kita tidak perlu memikirkan tentang REDD, apakah kita akan mendapat insentif atau tidak. Tapi sudah menjadi peran dan kewajiban kita untuk mengelola hutan yang kita miliki secara lestari sehingga bisa dimanfaatkan secara terus menerus.
Oleh: Dyah Nawang Wulan – Departemen Kajian Strategis LEM FKT UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar