Rabu, 22 Februari 2012

Menilik Dominasi Suara Menteri Dalam Pilrek UGM


Tahun ini UGM akan menyelenggarakan sebuah perhelatan lima tahun sekali untuk memilih rektor yang baru.  Rektor UGM Prof. Ir. Sudjarwadi, M. Eng. Ph. D. harus mengakhiri status jabatannya pada Mei 2012.  Berdasarkan Anggaran Rumah Tangga (ART) UGM November 2003, proses pemilihan rektor (pilrek) dilaksanakan selambat-lambatnya tiga bulan sebelum masa jabatan rektor berakhir. “Proses pilrek tahun ini akan dimulai pada bulan Maret dan diakhiri pada bulan Mei dengan menetapkan rektor yang baru,” ujar Dr. Ir. Didik Purwadi, M.EC. selaku Sekretaris Majelis Wali Amanat (MWA) UGM.

MWA memiliki wewenang untuk menyelenggarakan pilrek. Hal ini ditegaskan dalam PP No. 153 Tahun 2000 yang menyebutkan bahwa salah satu tugas MWA adalah mengangkat dan memberhentikan rektor. Adapun anggota MWA tersebut berjumlah dua puluh tiga orang yang terdiri atas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atau yang mewakili, masyarakat umum (Sri Sultan Hamengku Buwono, tokoh masyarakat, dan alumni UGM), serta masyarakat UGM (Rektor, wakil Senat Akademik (SA), wakil fakultas-fakultas, wakil tenaga kependidikan, dan wakil mahasiswa). Sementara itu dalam pilrek, MWA harus membentuk Panitia Ad Hoc terlebih dahulu. Namun, hingga berita ini diturunkan, Panitia Ad Hoc belum terbentuk. “Di tubuh MWA sendiri saat ini masih melakukan pergantian kepengurusan. Panita Ad Hoc akan dibentuk setelah pengurus MWA yang baru itu dilantik pada tanggal 1 Februari,” jelas Didik.

Berdasarkan ART UGM November 2003 pula disebutkan bahwa mekanisme pilrek terdiri atas tiga tahapan, yaitu penjaringan bakal calon rektor, pemilihan calon rektor, serta pemilihan dan penetapan rektor. Pada tahap pertama, Panitia Ad Hoc yang beranggotakan unsur-unsur dari MWA, SA, dan Majelis Guru Besar (MGB) melakukan penjaringan terhadap bakal calon rektor yang telah terdaftar. Adapun bakal calon rektor tersebut merupakan masyarakat UGM yang memenuhi kriteria tertentu dan diajukan berdasarkan aspirasi warga universitas.

Bakal calon rektor yang telah terpilih kemudian dijaring kembali untuk mendapatkan calon rektor. Calon rektor tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan dari SA dan MGB yang menghasilkan tiga calon rektor terpilih. Kemudian, salah satu dari tiga calon rektor tersebut akan dipilih menjadi rektor dalam rapat terbuka MWA. Berdasarkan PP No. 153 Tahun 2000, rektor dipilih melalui pemilihan suara dengan porsi suara menteri sebesar 35% dari seluruh suara yang sah dan 65% sisanya dibagi rata kepada setiap anggota MWA lainnya. 35% porsi suara menteri itu sangat menentukan siapa yang akan menjadi rektor selanjutnya. “Menteri tetap menjadi ‘dewa’. Kemana (suara: red) menteri mengalir, disitulah kemenangan untuk rektor,” ujar Luthfi Hamzah Husin, wakil mahasiswa di MWA.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.24 Tahun 2010 juga menyebutkan bahwa menteri memiliki 35% hak suara dari total pemilih. Kondisi ini dinilai tidak adil bagi anggota MWA lainnya, salah satunya Didik. Ia menyayangkan adanya porsi suara menteri yang terlalu besar yang dianggap kurang demokratis.

Dengan porsi suara menteri yang cukup besar itu, menteri harus bisa mendengarkan aspirasi civitas akademik UGM sehingga rektor yang terpilih berasal dari aspirasi semua pihak. “Sekarang kita harus melihat menterinya, semua itu tergantung menteri. Maka dari itu, menteri hendaknya bisa membawa aspirasi dari berbagai pihak jelas Prof. Dr. Jahja Muhaimin, mantan Menteri Pendidikan Nasional pada era Kabinet Persatuan Nasional. Beliau menambahkan, MWA juga harus benar-benar tanggap terhadap harapan para civitas akademik UGM sehingga aspirasi dari berbagai pihak dapat terakomodasi.

Aspirasi terhadap rektor yang nantinya akan memimpin UGM juga muncul dari mahasiswa. Mahasiswa merupakan bagian dari sistem pendidikan di universitas. Akibatnya, segala peraturan yang ditetapkan oleh sistem itu nantinya akan berimbas pada aktivitas mahasiswa di dalam kampus. “Mahasiswa punya fungsi sentral bukan hanya sebagai penerima pendidikan namun juga sebagai perumus pendidikan. Dengan mengadakan pemilihan langsung, dimana seluruh mahasiswa terlibat saat pilrek, mahasiswa diharapkan mampu melakukan kontrol dalam sistem tersebut,” ujar Sekjen BEM KM Rabiah Aladwiyah. Selanjutnya, Rabiah juga menambahkan “Seandainya mahasiswa ikut dilibatkan dalam pilrek, maka mahasiswa juga punya tanggung jawab dalam pengguliran kebijakan rektorat.”

Di sisi lain, Jahja berpendapat bahwa pilrek langsung dianggap tidak umum digunakan. Oleh karena itu, mahasiswa harus berusaha memercayakan pilrek kepada MWA. “Di dalam tubuh MWA sendiri ‘kan sudah ada perwakilan dari mahasiswa. Jadi, wakil mahasiswa itulah yang harus bisa menampung harapan mahasiswa terkait pilrek,” tandas Jahja.

Hal senada juga diungkapkan oleh Luthfi bahwa kematangan dan kedewasaan mahasiswa dalam berpolitik masih amburadul sehingga tidak relevan jika mahasiswa memilih rektor secara langsung saat ini. Jika pemilihan langsung itu dipaksakan, maka akan terbentuk praktik politik yang hanya mengedepankan kepentingan golongannya. “Pemilihan langsung tersebut nantinya malah akan membentuk suatu praktik politik komunalisme,” jelas Luthfi.

Berdasarkan fakta tersebut, aspirasi mahasiswa dalam pilrek masih dapat disalurkan melalui kedua perwakilan mahasiswa dalam MWA. “Walaupun perwakilan mahasiswa dalam MWA hanya berjumlah dua orang, mahasiswa masih memiliki legitimasi untuk membawa aspirasi mahasiswa dalam memilih rektor nanti,” tutup Luthfi.

[Azis Rahmat Pratama, Nindias Nur Khalika, Yuliana Ratnasari]

Sumber: http://www.balairungpress.com/2012/01/menilik-dominasi-suara-menteri-dalam-pilrek-ugm/

My point of view:
coba bayangkan....suara menteri 35%, suara WMA yang beranggotakan 23 orang sebanyak 65%, sedangkan mahasiswa UGM yang jumlahnya ribuan hanya diwakilkan oleh dua orang dalam WMA, tetap saja Pilrek digenggaman menteri.
Menteri benar-benar harus bijaksana dalam memilih, jangan sampai merugikan rakyat UGM.

Tidak ada komentar: