Rabu, 28 November 2012

Bersikap idealis atau realistis?



Seperti biasa, hari ini saya berinteraksi dengan banyak orang. Dari sekian kisah saya selama 24 jam, ada satu topik yang menarik hati saya untuk dituliskan dan diambil sisi positifnya.

Saat itu saya bercerita bersama dengan teman-teman tentang banyak hal sambil menunggu seseorang. Kami memulai cerita dari tugas akhir hingga rencana masa depan, bersama teman saya si A dan si B. Kami bercerita dan berbagi banyak informasi. Setelah beberapa lama bercerita mampir lah salah satu sahabat kami si C. Setelah beberapa lama bercerita akhirnya si C pamit dan meninggalkan kami.

Dari cerita bersama si C, si A beropini bahwa si C bersikap idealis dalam hidupnya sehingga tugas akhirnya terbengkalai dan sebentar lagi berumur 2 tahun. Menurut si A, si C ditahun pertamanya tidak melakukan apa-apa untuk tugas akhirnya dan hingga saat ini proposalnya belum juga selesai karena suatu hal yang lain dan itu sangat merugikan dan menyita waktunya. 

Dia mengambil suatu tema tugas akhir yang tidak biasa dilakukan oleh mahasiswa di jurusan kami. Saya teringat perkataannya beberapa waktu yang lalu: "Saya melihat kesuksesan dan orang-orang mencapainya dengan melewati jalan A, tapi saya memilih jalan lain yang belum pernah dilewati orang lain dan  berusaha mencapainya", jawabnya sambil nyengir

Awalnya saya tidak begitu menanggapi maksud perkataan ini, ternyata saya paham bahwa dia memiliki suatu pemikiran yang berani dan kuat. Ia percaya bahwa yang dilakukannya benar walaupun itu sesuatu yang baru dan belum pernah dilakukan orang lain. 

Untuk saat ini saya setuju dengan si A bahwa pemikirannya akan merugikannya dan itu terbukti saat ini dalam kasus tugas akhirnya, dia terlihat stres. Tapi saya tidak tahu dalam kasus lainnya. Dan yang lebih mengagetkan saya dari cerita si C tadi bahwa dia akan melakukan kegiatan magang suatu saat nanti di pabrik kecil di suatu kota di Jawa Tengah dengan bayaran yang menurut dia sendiri sangat pas-pasan. Saya tidak tahu pasti motivasinya, namun yang saya tangkap adalah rasa ingin tahunya yang kuat untuk menjadi seorang entrepreneur dan menerapkan ilmu yang dia dapat walaupun dia punya pilihan lain yang lebih baik.

Tapi dia punya pendirian yang kokoh bahwa yang dia lakukan benar dan akan membawaya pada kesuksesan dalam hidup walau dia sendiri tidak tahu butuh berapa lama untuk mencapainya. Terkadang saya berfikir bahwa itu akan menghabiskan waktunya walau itu memang akan membawanya pada kesuksesan. 

Kemudian si A beropini bahwa kita tidak baik untuk bersifat sangat idealis. "Ikuti saja kehidupan ini, kita harus beradaptasi dengan kehidupan, bukan kehidupan yang beradaptasi pada kita", jawab A. Sikap seperti ini mungkin lebih kita kenal sebagai sikap realistis. 

Si A memberikan contoh tentang seseorang disekitar lingkungan tempat tinggalnya yang telah lulus kuliah sejak 5 tahun yang lalu, namun masih menganggur karena terlalu memilih, yaitu ingin kerja di bank atau departemen, namun harus di pulau Jawa. Wah, saya pun kaget dengan keputusan orang itu dalam memilih jalan hidupnya.

Jujur saja saya merasa sebagai orang yang idealis, saya punya kemauan-kemauan yang kuat atas suatu hal sehingga saya sering memutar otak untuk memperoleh dan mencari tahu jalan untuk memperolehnya dan tidak jarang saya galau dan stres. 

Sebelum menulis tulisan ini, saya lebih dulu membaca sebuah artikel oleh Mas Ajie Adnan tentang Orang Idealis Vs Orang Realistis. Saya mengambil bagian dari artikel itu yang menurut saya perlu kita cermati. Dari artikel itu saya paham bahwa setiap orang punya idealisme. Dan idealisme adalah sumber perubahan. Perubahan terjadi karena tidak adanya kepuasan terhadap kondisi terkini, perubahan terjadi karena ada “kesalahan” atas suatu hal, perubahan dapat dilakukan hanya bila ada keberanian, dan keberanian untuk melakukan perubahan merupakan implementasi nyata dari idealisme.

Namun perlu diperhatikan juga bahwa idealisme tidak bisa berdiri sendiri. Idealisme juga memerlukan realisme. Idealisme dan sikap realistik bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain secara absolut. Tanpa adanya sikap realistik, idealisme hanya akan menjadi angan-angan utopis: bagaikan mimpi di siang bolong. Sikap idealis tanpa sifat realistis hanya akan menjadi bunga tidur dalam kehidupan yang tidak lebih baik dari khayalan orang sakit jiwa.

Perlu ada keseimbangan koheren antara sifat idealisme dan realistis agar menjadi manusia seutuhnya. Sikap realistis diperlukan untuk memahami dan menginsyafi kondisi riil di lapangan. Sedangkan sikap idealis diperlukan untuk memperbaiki atau menyempurnakan kekurangan yang terjadi dalam realita. Tidak mungkin seorang manusia hanya mengikuti arus (realistis) selama-lamanya, atau hidup akan menjadi statis. Tidak mungkin juga seorang manusia hanya mengutamakan idealismenya semata dengan mengacuhkan realita kalau tidak ingin dikatakan seorang pemimpi.


Jadi pada kenyataannya, sikap idealis dan realis bukanlah suatu hal yang saling berkontradiktif. Justru sebaliknya, kedua hal itu harus selaras berjalan dalam pikiran dan sikap kita agar hidup selalu mengalami progresifitas. Keseimbangan antara idealisme dan realism dapat menghasilkan output yang tentunya lebih baik daripada hanya condong ke satu sisi saja.      

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca semua. Bahwa banyak hal penuh makna di setiap kejadian disekeliling kita, tinggal bagaimana kita menyikapinya.



Salam



Rafke

Tidak ada komentar: